PEMBELAJARAN PROFESI DAN PEMBELAJARAN BERMAKNA *)
*) Makalah disampaikan oleh Soebakri pada kegiatan Seminar Nasional "Himpunan Penulis Sain Indonesia (HIPSI)" di Gedung Wanita Surabaya pada tanggal 16 Agustus 2009
PENDAHULUAN
Pendidikan Profesi Guru (PPG) semestinya berbeda dengan model pembelajaran di S1 dan akta IV Keguruan. Pendidikan profesi guru tidak untuk mencetak saintis pendidikan dan keguruan, melainkan mendidik guru siap, mahir, berkompeten dalam menjalankan profesinya.
Pendidikan profesi guru juga berbeda dengan diklat sertifikasi guru dalam jabatan yang hanya ditempuh dalam kurun waktu 9 hari saja, itupun diperuntukkan bagi guru yang belum lulus dalam portofolio.
Pendidikan profesi guru dilaksanakan dalam rentang waktu 1 tahun atau 2 semester dengan beban kuliah 36 SKS (teori dan praktik di sekolah mitra). Dan pesertanya dari berbagai pelosok daerah se Indonesia sebagai hasil seleksi di tingkat kota maupun dinas pendidikan tingkat kabupaten dengan persyaratan utama guru berprestasi, pengurus MGMP tingkat Sanggar dan persyaratan lainnya.
Pendidikan profesi guru dilaksanakan sebagai upaya peningkatan kompetensi pedagogik, profesional, sosial dan personal sebagai implementasi dari amanat dalam UU No 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen.
Dirjen PMP & TK, pernah menyatakan bahwa hampir separuh dari 2,6 juta guru yang ada di tanah air ini dianggap belum layak mengajar. Kualifikasi kompetensinya tidak mencukupi untuk mengajar di sekolah. Adapun guru yang tidak layak mengajar sekitar 912.505 yang terdiri atas 605.217 guru SD, 167.643 guru SMP, 75.684 guru SMA dan 63.961 guru SMK. Kondisi ini lebih diperparah lagi dengan adanya temuan di lapangan adanya guru mengajar bukan pada bidangnya, sarana dan prasarana sekolah yang tidak memadai, dan praktek guru mengajar di kelas yang mengandalkan metode ceramah saja. Berbagai persoalan ini memerlukan penanganan serius dan berkesinambungan.
PEMBAHASAN
Pendidikan profesi guru merupakan komitmen pemerintah/ departemen pendidikan nasional. Keberhasilan pelaksanaan pendidikan dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan secara nasional juga menjadi harapan nyata bagi pembangunan pendidikan dan pembangunan guru profesional menuju pembangunan Insan Indonesia yang Cerdas dan Kompetitif.
Pendidikan profesi guru diselenggarakan tidak semata-mata untuk memperoleh tunjangan professional guru saja, tetapi pendidikan profesi guru merupakan wahana untuk meng-upgrade kompetensi guru dalam rangka proses pencapaian tujuan pendidikan nasional.
Peningkatan Mutu Pendidikan
Langkah-langkah perbaikan kegiatan pembelajaran di sekolah yang didukung oleh tenaga kependidikan yang kompeten, sarana dan prasarana yang memadai dan suasana sekolah yang kondusif, dapat dilakukan melalui (1) perbaikan kurikulum pendidikan yang dapat memberikan kemampuan dan ketrampilan dasar minimum (minimum basic skill), menerapkan konsep belajar tuntas dan membangkitkan sikap kreatif, inovatif, demokratis dan mandiri bagi peserta didik ; (2) peningkatan kualifikasi, kompetensi dan profesionalisme tenaga kependidikan sesuai dengan kebutuhan mereka melalui pendidikan profesi dan pelatihan, melalui lembaga pendidikan tenaga kependidikan dan lembaga diklat professional; (3) pelaksanaan program peningkatan mutu pendidikan berbasis sekolah (PMPBS) sebagai upaya pemberian otonomi pedagogis kepada guru dan kepala sekolah dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran, sehingga guru dapat melaksanakan tugasnya dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan dan prestasi peserta didik ; (4) penciptaan suasana yang kompetitif dan kooperatif antar sekolah dalam memajukan dan meningkatkan mutu pendidikan sesuai dengan standar yang telah ditentukan. Perlu diciptakan persaingan yang sehat antar sekolah agar para siswa dan guru termotivasi untuk tampil yang terbaik dan berprestasi; (5) perlunya standar kelengkapan kualitas sarana dan prasarana pendidikan, sehingga sekolah dapat melaksanakan pembelajaran secara optimal. Misalnya, pengadaan laptop untuk guru, LCD, dapat mengakses internet dengan mudah, serta ketersediaan multi media di samping kelengkapan koleksi buku-buku diperpustakaan.
Pengembangan tenaga kependidikan melalui pendidikan profesi guru memilki arti yang sangat strategis. karena guru sebagai unsur yang sangat menentukan dalam proses belajar mengajar. Pendidikan profesi diarahkan untuk meningkatkan kualifikasi, kompetensi dan profesionalisme melalui perguruan tinggi (PT) yang memenuhi syarat, untuk penyelenggara pendidikan profesi.
Menyongsong Pendidikan yang Bermutu
Pemerintah melalui Diknas berupaya untuk bisa membekali guru sebagai garda terdepan dalam dunia kependidikan melalui pendidikan, diklat, seminar, dan sebagainya, untuk meningkatkan kualitas dan profesionalisme dalam menjalankan tugasnya. Langkah inipun dianggap belum cukup untuk meningkatkan mutu guru manakala melihat praktik mengajar guru di sekolah yang masih menerapkan paradigma lama berupa teaching centered. Dimana guru merasa sebagai satu-satunya sumber pengetahuan sehingga hampir memonopoli proses belajar mengajar. Sedangkan siswanya pasif mendengarkan ceramah gurunya. Dan yang lebih parah lagi apa yang diterangkan guru tidak bermakna dan kontekstual dengan keadaan nyata di lapangan.
Paradigma baru dalam dunia pendidikan harus cepat-cepat disosialisasikan, yaitu dari teaching ke learning, dari pengajaran ke pembelajaran, dari siswa menjadi objek ke siswa menjadi subjek, dari siswa pasif menjadi siswa yang aktif. Dengan perubahan paradigma ini, kegiatan belajar mengajar menjadi menyenangkan, mampu mengembangkan potensi peserta didik.
Paradigma baru pembelajaran sesuai dengan visi UNESCO meliputi learning to think (belajar berfikir), learning to do (belajar berbuat/hidup), learning to live together (belajar hidup bersama) dan learning to be (belajar untuk menjadi diri sendiri). Untuk itu visi dan misi sekolah/pendidikan berorientasi pada bagaimana peserta didik di masa depan dapat tumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang mandiri, memiliki jati diri dan harga diri.
Paradigma baru guru bukan satu-satunya sumber belajar melainkan seorang fasilitator dalam proses belajar. Guru berfungsi membekali kemampuan siswa dalam menyeleksi informasi yang dibutuhkan. Dalam pembelajaran siswa dibiasakan untuk memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan menemukan ide-ide baru. Dan seterusnya siswa mengkonstruksikan pengetahuan di dalam benaknya sendiri. Berdasarkan penelitian, belajar menemukan sendiri (inquiri) hasilnya akan mampu terekam dan mengendap lebih lama dalam otak, dibandingkan dengan hanya mendengarkan ceramah gurunya.
Secara garis besar standar kompetensi guru; harus mencakup :
a. kemampuan mengenal secara mendalam peserta didik yang dilayani,
b. penguasaan bidang studi secara keilmuan dan kependidikan, yaitu kemampuan mengemas materi pembelajaran kependidikan,
c. kemampuan menyelenggarakan pembelajaran yang mendidik yang meliputi : (i) perancangan pembelajaran ; (ii) pelaksanaan pembelajaran; (iii) penilaian proses dan hasil pembelajaran; dan (iv) pemanfaatan hasil penilaian terhadap proses dan hasil pembelajaran sebagai pemicu perbaikan secara berkelanjutan,
d. pengembangan profesionalitas berkelanjutan.
Keempat wilayah kompetensi ini dapat ditinjau dari segi pengetahuan, keterampilan dan sikap, yang merupakan kesatuan utuh tetapi memiliki dua dimensi tak terpisahkan yaitu dimensi akademik (kompetensi akademik) dan dimensi profesional (kompetensi profesional). Kompetensi akademik lebih banyak berkenaan dengan pengetahuan konseptual, teknis / prosedural, dan faktual, dan sikap positif terhadap profesi guru, sedangkan kompetensi profesional berkenaan dengan penerapan pengetahuan dan tindakan pengembangan diri secara profesional. Sesuai dengan sifatnya, kompetensi akademik diperoleh lewat pendidikan akademik tingkat universitas, sedangkan kompetensi profesional lewat pendidikan profesi.
Kompetensi guru tersebut disajikan antara lain sebagai berikut:
1. Kemampuan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang memungkinkan membimbing peserta didik mencapai standar kompetensi.
2. Menguasai ilmu pendidikan, perkembangan dan membimbing peserta didik.
3. Menguasai pembelajaran bidang studi: belajar dan pembelajaran, evaluasi pembelajaran, perencanaan pembelajaran, media pembelajaran dan penelitian bagi peningkatan pembelajaran bidang studi
4. Mampu melaksanakan praktek pembelajaran bidang studi.
5. Memiliki integritas kepribadian yang meliputi aspek fisik-motorik, intelektual, sosial, konatif dan afektif
6. Kompetensi sosial merupakan kemampuan dalam menjalin hubungan sosial secara langsung maupun menggunakan media di sekolah dan luar sekolah.
Kompetensi apa saja yang wajib dimiliki oleh guru sebagai pendidik ? Standar kualifikasi akademik dan kompetensi guru yang lengkap dapat mengacu pada Permendiknas Nomor 16 Tahun 2007.
Berdasarkan standar kompetensi tersebut, pegembangan kurikulum Program Pendidikan Profesi guru (PPG) paling tidak harus (standar minimal) mengacu pada :
1. Kompetensi yang berimplikasi kepada perancangan, pelaksanaan dan penilaian dengan mengacu pada perangkat kompetensi yang akan dicapai.
2. Berorientasi pada pengembangan yang lebih ditekankan pada aspek pengembangan keterampilan yang kontekstual dengan profesi guru, didukung oleh kegiatan praktek tanpa mengabaikan pengembangan aspek-aspek teoretis yang relevan.
3. Pentingnya keterlibatan pihak-pihak pemangku kepentingan (stakeholders), antara lain asosiasi profesi program studi dan pengguna lulusan, dalam keseluruhan proses pengembangan kurikulum.
Sesuai dengan karakteristik peserta PPG yang sangat heterogen, maka alur pengembangan kurikulum PPG adalah sebagai berikut:
1. Bertolak dari Standar Kompetensi Lulusan;
2. Berdasarkan hasil survey/asesmen kemampuan awal peserta; dan menyusun isi kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan tiap kelompok peserta.
Alur Kegiatan Penyusunan dan Pengembangan Kurikulum
Penyusunan dan pengembangan kurikulum pendidikan profesi guru diawali dengan analisis kompetensi lulusan, menjabarkan kompetensi ke dalam indikator hasil belajar, identifikasi substansi kajian (materi/kandungan isi), yang diikuti penentuan mata kuliah, pembuatan struktur kurikulum, penyusunan silabus, dan seterusnya, dengan mempertimbangkan ruang kurikuler (curricular space) yang tersedia.
Penyusunan kurikulum didasarkan pada kompetensi yang akan dicapai dari tiap-tiap program studi sesuai bidang keilmuan. Kompetensi dasar dijabarkan menjadi sub kompetensi, lalu diimplementasikan dalam pengalaman belajar yang akan dilakukan oleh peserta agar kompetensi tersebut dapat dikuasai. Pengalaman belajar dioperasionalkan dalam substansi kajian atau materi dan rincian yang akan dibahas dan dipraktikkan dalam kegiatan pembelajaran dengan mengestimasikan perkiraan waktu yang diperlukan. Beberapa kompetensi dan pengalaman belajar yang serumpun dikoordinasikan dan dikemas menjadi suatu mata kuliah. Isi kurikulum perlu disepakati bersama antara para penyelenggara PPG karena hal itu akan memudahkan mahasiswa pindah dari satu PPG ke PPG lainnya dan memudahkan dalam penilaian jika terjadi mobilitas guru dari satu daerah ke daerah lain.
Sistem Pembelajaran
Prinsip-prinsip pembelajaran yang perlu mendapat perhatian khusus dalam program pendidikan profesi guru, antara lain adalah:
1. Belajar dengan berbuat
Prinsip learning by doing tidak hanya diperlukan dalam pembentukan keterampilan, melainkan juga pada pembentukan pengetahuan dan sikap. Dengan prinsip ini, pengetahuan dan sikap terbentuk melalui pengalaman dalam menyelesaikan kegiatan-kegiatan yang ditugaskan termasuk mengatasi masalah-masalah yang dihadapi di lapangan.
2. Keaktifan peserta didik
Proses pembelajaran diarahkan pada upaya untuk mengaktifkan peserta didik, bukan dalam arti fisik melainkan dalam keseluruhan perilaku belajar. Keaktifan ini dapat diwujudkan antara lain melalui: pemberian kesempatan menyatakan gagasan, mencari informasi dari berbagai sumber dan melaksanakan tugas-tugas yang merupakan aplikasi dari konsep-konsep yang telah dipelajari.
3. Higher order thinking
Pengembangan sistim pembelajaran yang berorientasi pada kemampuan berfikir tingkat tinggi (higher order thinking), meliputi berfikir kritis, kreatif, logis, reflektif, pemecahan masalah dan pengambilan keputusan.
4. Dampak pengiring
Di samping diarahkan pada pencapaian dampak instruksional (instructional effects), proses pembelajaran diharapkan mengakomodasi upaya pencapaian dampak pengiring (nurturant effects). Upaya ini akan membantu pengembangan sikap dan kepribadian peserta didik sebagai guru, di samping penguasaan materi perkuliahan.
5. Mekanisme balikan secara berkala
Penggunaan mekanisme balikan melalui asesmen secara berkala akan mendukung upaya pencapaian kompetensi. Praktik asesmen melalui kuis-kuis singkat dan tugas- tugas jangka pendek yang diperiksa dan dinilai dapat meningkatkan keefektifan pembelajaran.
6. Pemanfaatan teknologi informasi
Keterampilan memanfaatkan multi media dan teknologi informasi perlu dikembangkan dalam semua perkuliahan, baik untuk mengembangkan pengetahuan dan ketrampilan maupun sebagai media pembelajaran.
7. Pembelajaran Kontekstual
Dalam melaksanakan pembelajaran, konsep-konsep diperoleh melalui pengalaman dan kenyataan yang ada di lingkungan sehari-hari. Pengenalan lapangan dalam bidang pembelajaran dilakukan sejak awal tidak hanya menjelang akhir program, melalui kunjungan ke sekolah pada waktu-waktu tertentu, hingga pelaksanan Program Pengalaman Lapangan. Kegiatan dirancang dan dilaksanakan sebagai tugas perkuliahan.
PEMBELAJARAN BERMAKNA: UBAH GURUNYA BARU MURIDNYA.
Guru hampir tak bisa pernah lelap tidur, zaman berputar, dan teknologi selalu mati muda. Itulah yang terjadi ketika manusia menggunakan “mesin dahsyatnya”, berupa otak yang cerdik untuk selalu dan selalu berkreasi, inovasi ke dalam ranah teknologi.
Pembelajaran dengan segenap metodenya, yang beriringan dengan model penyajian, adalah salah satu serpihan teknologi, yakni teknologi pembelajaran. Kini karya-karya unggul bidang pembelajaran muncul, konsekuensinya adalah lahirlah terminology alias istilah-istilah baru. Dalam proses pembelajaran, dari paradigma, model dan penerapannya, juga disentuh oleh kemajuan itu. Akhirnya orang mengenal istilah-istilah ini, mulai dari Quantum Teaching, Quantum Learning, Cooperative Learning, hingga Contextual Teaching Learning. Istilah yang kadang bikin pening, kadang pula juga mengundang tanggapan miring, adalah suatu realita yang menuntut adanya daya sesuai bagi profesi Guru. Rupanya hal itu menuntut suatu keharusan, dengan kata lain, Guru harus berubah. Pertanyaannya sudah siapkah sang Guru, merubah beton-beton mental yang telah lama membatu, dan sudah menjadi jati diri. Teknologi secanggih apa pun tak akan mampu diaplikasi, ketika manusia sebagai aktornya enggan merubah mentalitasnya.
Dalam wahana sosialisasi, yang akan mengangkat sebuah materi pembelajaran bermakna, jika mentalitas kita memberi jawaban enggan berubah, maka wahana sosialisasi ini tidak memiliki arti.
1. Mengubah Mentalitas
Hadirnya sesuatu yang baru, serta merta membelah sikap mental seorang-orang, ada yang setuju, ada yang pula menggerutu. Sosialisasi ini memiliki maksud untuk menjebatani belahan sikap tadi. Seperti lahirnya “PEMBELAJARAN BERMAKNA”, yang kini akan kita dicerna bersama, kita kunyah-kunyah berjama’ah. Kadang mengundang pertanyaan yang sangat menyeramkan, apakah selama ini pembelajaran tidak bermakna ?. Apakah pembelajaran yang kita lakukan selama ini sia-sia?. Tentu itu tidak benar. Pembelajaran yang kita lakukan sudah benar, namun kemajuan teknologilah yang menstimuli kita untuk beradaptasi, artinya mengadaptasikan proses pembelajaran sesuai zaman.
Bagaimana dengan profesi kita?, Tentunya yang harus kita kedepankan saat ini adalah kerelaan kita untuk berubah.
Model pembelajaran, adalah sebuah metodologi, atau sarana, lebih kasar kita sebut “alat” atau “piranti”. Guru adalah seorang profesionalis yang menjalankan fungsi-fungsinya dengan menggunakan metodologi, kendatipun aturan telah dicanangkan, namun sikap mental masih pada pusaran yang rentan berubah, maka segalanya menjadi kalah dan “mentah”
Kuncinya adalah, saat ini kita harus berubah. Dari paradigma lama menuju yang baru.
2. Paradigma Baru
Seorang Guru pasti memahami istilah yang satu ini. “Learning Process”. Manusia bisa berubah dan menerima paradigma baru, tidak serta merta. Tapi perlu tahapan. Tahapan itu adalah, “Know”, “Believe”, “Attitude”, “Behavior”, “Habit” dan “ Culture”.
Know:
Semua stimuli dari akibat interaksi kita dan lingkungan, akan menjadi bahan dasar untuk mengetahui sesuatu, dan selanjutnya berfungsi untuk memicu munculnya perilaku. Workshop kali ini adalah wahana menstimuli, agar meransang munculnya perilaku baru.
Yakni menerima atau menolak, setuju dengan pembelajaran bermakna atau tidak
Believe:
Setelah kita mengetahui sesuatu yang baru, yang sudah disaring oleh keyakinan kita. Keyakinan yang bersumber dari nilai-nilai yang terbentuk di lingkungan. Jika hal itu bermakna, maka kita pasti menerimanya.
Attitude :
Sinergi antara apa yang kita ketahui dengan apa yang kita yakini, dan akhirnya membuahkan perilaku. Hebatnya, metodologi yang baru, apakah Quantum Teaching, Learning, atau Cooperative learning. Jika Guru tidak yakin akan hal itu, maka hampir dipastikan tidak akan lahir perilaku yang baru.
Behavior :
Perilaku yang ditampilkan oleh seorang Guru, adalah akumulasi dari Know, believe dan Attitude. Ketiga paduan tersebut, acapkali disebut sebagai “software”, sedangkan behavior adalah “hardwarenya” Jika seorang Guru dalam memahami pembelajaran bermakna tidak melalui proses know, believe, hingga attitude, maka bekerjanya akan setengah hati.
Habit :
Perilaku yang didemonstrasikan secara konsisten adalah kebiasaan [habit], merupakan bentuk kristalisasi perilaku. Jika hal ini terbentuk, maka Pembelajaran Bermakna, akan menjadi santapan, alias menu utama Guru. Semuanya akan menjadi jalan tanpa hambatan, metode pembelajaran ini akan menjadi popular.
Cultutre:
Budaya adalah cerminan dari nilai-nilai yang diketahui dan diyakini. Budaya merupakan pemantapan dari kebiasaan [habit]. Pada tahapan inilah, perilaku seorang-orang sudah melekat dan sulit untuk diubah kembali, kendati ada nilai-nilai yang baru.
Jika ada intervensi nilai yang baru, harus melalui “Learning Process”. Pengalaman yang kita tarik dari pemahaman ini adalah, bahwa workshop ini, tidak serta merta langsung berubah budaya yang sudah membatu dan membeku. Namun tersimpan sebuah kesadaran, yang menyatakan bahwa workshop kali ini adalah utaian dari “learning process”
3. Membangun Ability to Response
Guru juga “manusia“. Manusia yang memiliki kemampuan untuk menanggapi adalah manusia yang mampu mengendalikan kehidupannya, sehingga dia mampu menentukan tindakannya sendiri. Terkait dengan profesi seorang Guru, maka dalam membangun citranya sedikitnya, ada lima kemampuan yang harus dikantongi. Kemampuan-kemampuan itu adalah:
Ability to fact [kemampuan memahami fakta];
Jika kemampuan ini telah ada pada diri seorang Guru, maka pengalaman empirinya yang akan mengendalikan apakah sesuatu itu yang diterima inderanya memiliki nilai-nilai manfaat. Jika hal itu tidak menjadikan sebuah ancaman bagi dirinya, dan justru memiliki manfaat besar bagi dirinya, maka akan diterimanya. Apakah Pembelajaran Bermakna itu, sebuah ancaman bagi eksistensi profesi, atau justru itu membantu Guru ?. Kemampuan inilah yang mengendalikannya. Hadirnya Pembelajaran Bermakna, harus diterima, karena fakta telah menunjukkan eksistensinya
Ability to basic knowledge [kemampuan memahami dasar-dasar pengetahuan]
Guru hampir semuanya telah memiliki kemampuan ini, tidak ada seorang pun yang mengatakan tidak. Semua Guru telah memilikinya, telah menyadarinya, dan merupakan bagian dari profesinya. “Jika” selalu diikuti “Maka”. Jika seorang Guru enggan mengubah paradigmanya, maka akan disisihkan oleh zaman. Hadirnya pengetahuan baru, model pembelajaran baru, tidak harus ditunggu, tapi diantisipasi. Hadirnya Pembelajaran Bermakna, harus diterima, karena pengetahuan telah mengawalnya.
Ability to evaluation [kemampuan mengevaluasi]
Kemampuan ini adalah, bagian yang melekat pada profesi Guru. Setiap berpikir bertindak, dan berperilaku selalu mengedepankan kemampuan ini. Tentunya ketika menjalankan profesinya, seorang Guru selalu memberikan pertimbangan akan manfaat, dan keruginya. Menimbang kemungkinan risiko yang dihadapinya. Hadirnya model pembelajaran baru, hampir dipastikan merupakan “rekayasa nilai-nilai” [reengineering] atas model pembelajaran yang lama. Hadirnya Pembelajaran Bermakna, harus diterima, tidak perlu diragukan lagi, karena merupakan rekayasa nilai-nilai atau metode yang mendahuluinya.
Ability to Analysis [kemampuan analisis]
Merupakan kemampuan dalam mengurai permasalahan secara detil, dan menggunakan berbagai dimensi ketika memandang sesuatu masalah. Guru sadar atau tidak telah lama memiliki dan menggunakannya. Guru setiap menjalankan profesinya, selalu melakukan tahapan ini. Bahkan Guru-guru telah lama melakukan Penelitian Tindakan Kelas [PTK], jauh sebelum PTK se-populer saat ini. Namun Guru tidak mampu menuliskannya, kedalam bahasa tulis ilmiah.
Kalau di analisa lebih tajam, sebenarnya Guru-guru telah lama mengaplikasikan berbagai metode pembelajaran yang sesuai dengan zamannya, termasuk metode pembelajaran bermakna. Namun Guru masih ragu apakah yang dilakukan itu telah memenuhi kaidah bermakna. Hadirnya Pembelajaran Bermakna, harus diterima, karena yang sebenarnya Guru-guru telah lama melakukannya, tetapi ada keraguan apakah yang dilakukan itu, Pembelajaran yang bermakna.
Ability to response [Kemampuan menaggapi]
Adalah kemampuan yang muncul, akibat kemampuan-kemampuan lainnya, seperti: kemampuan memahami fakta; kemampuan memahami dasar-dasar pengetahuan, kemampuan evaluasi dan kemampuan analisis. Bagi profesi seorang Guru, kemampuan mananggapi adalah citra diri dalam melihat dirinya [self image]. Secara rinci kemampuan menanggapi ini meliputi :
- Kemampuan dalam memahami kompetensi [competency]
- Kemampuan untuk meciptakan visi [Vision] sebagi harapan dan cita-cita
- Kemampuan untuk memberikan makna pada hidupnya yang diwujudkan dalam bentuk pemaknaan misi [Mission] hidupnya
- Kemamuan menggunakan kompetensinya untuk mewujudkan visi dan misinya dalam bentuk strategi yang dijalankan
- Kemampuan menterjemahkan strategi sebagai aksi.
- Hadirnya Pembelajaran Bermakna, harus direspon secara positif, karena kompetensi Guru, yang didalamnya menggambarkan Visi, Misi, Startegi, dan Aksi. Semuanya adalah bagian dari kekuatan atau potensi profesi.
4. Mengapa Pembelajaran Bermakna ?
Sebuah pembelajaran harus diindikasikan pada tingkatan yang kondusif, menyenangkan, dan kontekstual berdasakan fakta yang sebenarnya.
Mencuplik dari buku “Menggagas Pendidikan Bermakna”, buah pikir Muchlas Samani, bahwa apapun model pembelajaran, maka harus bermakna [meaningful learning]. David P. Ausubel, adalah seorang ahli psikologi pendidikan, menurut Ausubel [1966] bahan pelajaran yang dipelajari harus “bermakna’ [meaning full]. Pembelajaran bermakna merupakan suatu proses mengkaitkan informasi baru pada konsep-konsep relevan yang terdapat dalam struktur kognitif seorang. Struktur kognitif ialah fakta-fakta, konsep-konsep, dan generalisasi-generalisasi yang telah sipelajari dan diingat siswa.
Suparno [1997] mengatakan, pembelajaran bermakna adalah suatu proses pembelajaran dimana informasi baru dihubungkan dengan struktur pengertian yang sudah dipunyai seorang-orang yang sedang dalam proses pembelajaran. Pembelajaran bermakna terjadi bila siswa mencoba menghubungkan fenomena baru ke dalam struktur pengetahuan mereka. Artinya, bahan pelajaran itu harus cocok dengan kemampuan siswa dan harus relevan dengan struktur kognitif yang dimiliki siswa. Oleh karena itu, pelajaran harus dikaitkan dengan konsep-konsep yang sudah dimilki siswa, sehingga konsep-konsep baru tersebut benar-benar terserap olehnya. Dengan demikian, factor intelektual emosional siswa terlibat dalam kegiatan pembelajaran.
Pembelajaran bermakna, adalah pembelajaran yang menyenangkan, pembelajaran yang menyenangkan, akan memiliki keunggulan dalam meraup segenap informasi secara utuh, konsekuensi akhir adalah meningkatnya kemampuan siswa.
Sejalan dari pemikiran itu Bobbi DePorter, mengenalkan lompatan pembelajaran yang menyegarkan dan menyenangkan. Dengan mengubah energi potensial siswa menjadi cahaya, menjadikan semuanya bermakna. Oleh karenanya motode pembelajaran yang dikreasi Bobbi, memberikan jargon, TANDUR dan AMBAK.
Kerangka rancangan Belajar Quantum Teaching yang dikenal sebagai TANDUR
Tumbuhkan. Tumbuhkan minat dengan memuaskan “Apakah Manfaat BAgiKu “ (AMBAK), dan manfaatkan kehidupan pelajar
Alami. Ciptakan atau datangkan pengalaman umum yang dapat dimengerti semua pelajar
Namai. Sediakan kata kunci, konsep, model, rumus, strategi sebuah “masukan”
Demonstrasikan. Sediakan kesempatan bagi pelajar untuk “menunjukkan bahwa mereka tahu”
Ulangi. Tunjukkan pelajar cara-cara mengulang materi dan menegaskan , “Aku tahu dan memang tahu ini”.
Rayakan. Pengakuan untuk penyelesaian, partisipasi, dan pemerolehan keterampilan dan ilmu pengetahuan.
5. Kapan Kita Menggunakan ?
Revolusi cara belajar mengubah segalanya, ketika citarasa yang menyenangkan menjadi atmosfir pembelajaran bermakna. Maka ketika menerapkan harus tetap memperhatikan kaidah-kaidah tertentu. “WARUNG JAMU”, adalah sebuah kaidah yang merupakan kepanjangan dari WAktu-RUaNG-JumlAh dan MUtu. Makna Warung Jamu adalah dimensi ukur yang harus diperhatikan, ketika seorang Guru melakukan pembelajaran.
Kapan [waktu], kita melalukan pembelajaran
Pada rentangan bagaimana atau pada kondisi yang bagaimana [ruang], kita melakukan pembelajaran
Kuantitas audience [jumlah]
Kualitas yang diharapkan [mutu]
Sejalan dengan kaidah tersebut, kita diingatkan pula dengan kaidah “ABCD” –[Audience, Behavior, Condition and Degree]. Kaidah inilah, bagaikan bintang pengarah para guru untuk memilih metode pembelajaran yang EER [Efektif, Efisien dan Rasional].
Saat ini terjadi revolusi pembelajaran, yang mengenerasi banyak metode pembelajaran, namun bila kita dicermati adalah berubahnya paradigma pembelajaran. Dari Guru sebagai pusat pembelajaran, atau semuanya sangat ditentukan dari atas “driver company”, menuju pembelajaran yang memberikan ruang gerak secara utuh dan menyeluruh pada siswanya “driver customer”. Paradigma inilah yang menuntut setiap Guru untuk cermat dalam memilih metode pembelajaran. Tentunya metode pembelajaran Bermakna
6. Bagaimana dengan Belajar Bermakna?
Struktur kogitif bahan pelajaran harus disusun menurut urut-urutan tingkatan kesukaran yang logis dan didasarkan atas pengalaman-pengalaman belajar yang terdahulu. Menurud Ausubel (dalam Herman Hudoyo. 1979: p.108-109) menyatakan bahwa pelajaran yang dipelajari haruslah “bermakna” (Meaning full) artinya bahan pelajaran itu cocok dengan kemampuan siswa dan harus relevan dengan struktur kognitif yang dimiliki siswa. Dengan perkataan lain, pelajaran baru haruslah dikaitkan dengan konsep-konsep yang sudah ada sedemikian hingga konsep-konsep baru benar-benar terserap. Dengan demikian, intelektual-emosional siswa terlibat dalam kegiatan belajar mengajar.
Sebagai ilustrasi bahwa belajar yang bermakna adalah bertentangan dengan belajar dengan menghafal. Belajar menghafal berarti bahwa belajar dikerjakan secara mekanis, sekedar suatu latihan mengingat tanpa suatu pengertian. Misalnya jika matematika dipelajari dengan menghafal/hafalan, maka siswa akan mengalami kesulitan, sebab bahan pelajaran yang diperoleh dengan hafalan belum siap pakai untuk menyelesaikan suatu masalah, bahkan juga dalam situasi-situasi yang mirip dengan bahan yang dipelajari itu.
Contoh di atas menunjukkan bahwa suatu proses pembelajaran akan lebih mudah dipelajari dan dipahami siswa jika para guru mampu dalam memberi kemudahan bagi siswanya sedemikian sehingga para siswa dapat mengaitkan pengetahuan yang baru dengan pengetahuan yang sudah dimilikinya [ Inti dari pembelajaran bermakna (meaning full learning)].
PENUTUP
Suatu proses pembelajaran profesi akan lebih mudah dipelajari dan dipahami bila pembelajaran profesi itu bermakna. Pembelajaran bermakna jika para guru/dosen mampu dalam memberi kemudahan bagi siswa/guru mengaitkan pengetahuan yang baru dengan pengetahuan yang sudah dimiliki siswa/guru. Pembelajaran profesi dan pembelajaran bermakna merupakan proses pembelajaran yang efektif dan dapat meningkatkan profesionalitas guru/dosen.
DAFTAR PUSTAKA:
Hudoyo, Herman. 1979. Pengembangan Kurikulum Matematika dan Pelaksanannya di Depan Kelas. Surabaya; Usaha Nasional.
Hudoyo, Herman.1990. Strategi Mengajar Belajar Matematika. Malang: IKIP.
Muchlas Samani.2007. Pendidikan Bermakna:integrasi Life Skill-KBK-CTL-MBS. Surabaya: SIC.
Suprano,P. 1997. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta :Penerbit Kanisius.
Yosi Novian dan Faqih Syarif. 2008. Quantum Quotient, Learning Behavior, Ability To Respones & Training. Surabaya: PT Jaya Pustaka Media Utama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar